Kamis, 31 Oktober 2013

NETETIQUE BERKOMUNIKASI DI ERA SOSIAL MEDIA

Internet merupakan suatu komunitas yang terdiri dari banyak manusia, walaupun mereka tidak dapat dilihat atau disentuh secara langsung. Seperti layaknya di dunia nyata, komunitas dunia maya juga memerlukan seperangkat aturan yang harus dipatuhi anggotanya demi kepentingan bersama. Dengan demikian, kekacauan dan tindak anarkis tidak akan terjadi maupun mengancam kelangsungan hidup komunitas internet.
Seiring berkembangnya teknologi di era globalisasi ini, segala sesuatu terasa lebih cepat dan mudah. Misalnya saja dalam hal berkomunikasi, baik itu komunikasi dengan kerabat maupun teman, serta komunikasi dalam menyebarkan informasi. Tak hanya alat-alat komunikasi saja yang dapat mempermudah pengguna dalam berkomunikasi satu sama lain, tapi juga sarana komunikasi seperti sejumlah sosial media. Melalui sosial media, pengguna dapat memperoleh informasi serta membagikan informasi melalui akun pribadi mereka. Tak hanya itu, pengguna juga bisa memperluas pergaulan dengan orang-orang dari berbagai tempat. Bahkan tak jarang sosial media dijadikan sarana untuk mempromosikan sesuatu, misalnya saja untuk menjajakan barang dagangan, atau mempromosikan suatu event dan lain sebagainya. Bagi sebagian orang pun sosial media dijadikan sarana untuk mengekspresikan diri, baik itu melalui foto maupun kata-kata. Semua hal seakan bebas dilakukan menggunakan sosial media, terlebih sarana ini dapat diakses di mana saja dengan cuma-cuma.

Natiquette atau Netiquette dapat diartikan sebagai Internet Etiquette atau Social Network Etiquette. Apa ini maksudnya? Maksudnya yaitu etika atau etiket dalam menggunakan internet atau etika atau etiket dalam menggunakan jejaring atau jaringan sosial. Apakah selama ini kalian mengetahui bahwa dalam penggunaan internet itu ternyata ada etika atau etiketnya loh? Wah ternyata banyak yang belum mengetahui etika atau etiket dalam menggunakan internet ya. Mari dibahas satu persatu mengenai hal ini.
Dalam SOCIAL NETWORK RULES ada beberapa saran, tips, ataupun aturan mengenai etika atau etiket ini. Tolong diperhatikan ya.

1.     CYBER FRIENDS FIRST
Peraturan yang pertama ini, memberi kita petunjuk bahwa pertama kali yang harus kita lakukan yaitu menjalin pertemanan dengan teman yang bergabung dalam dunia maya. Sehingga, kita dapat menjadi orang yang terbuka dalam hal pemikiran untuk menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih luas lagi. tetapi harus tetap berhati – hati untuk menghindari kejahatan yang sering terjadi melalui internet.

2.     CONSTRUCTIVE CRITICISM
Selanjutnya, membangun atau membentuk kritik. Maksudnya yaitu dengan bertambah wawasan dan pengetahuan yang kita miliki, dapat mengaktifkan pembangunan kritik terhadap sutu peristiwa tertentu yang sedang terjadi tanpa menyakiti hati pihak manapun.

3.     FRIEND CAUTIOUSLY
Berteman secara hati – hati, untuk menghindari kejahatan yang sering terjadi melalui internet, media sosial, ada baiknya sebagai pengguna internet melakukan screening atau pemindaian atas teman – teman media sosial yang ada untuk menghindari resiko yang tidak diinginkan. Selain itu juga, menyeleksi mana teman yang baik dan mana yang buruk, dalam pengertian teman yang buruk dapat diarahkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, apabila tidak bisa, bukan ditinggalkan maupun dijauhi, tetapi ada baiknya kita sebagai pengguna internet yang mengerti etika atau etiket dalam berinternet tidak mengikuti hal – hal buruk yang ditampilkan oleh pengguna internet yang buruk tersebut.

4.     UNFRIEND REASONABLY
Tidak berteman dengan alasan yang jelas, dimaksudkan agar seseorang yang tidak lagi ‘dianggap’ teman oleh kita sebagai pengguna internet yang beretika atau beretiket tidak sakit hati atas tindakan yang kita lakukan. Selain untuk menghindari kejadian buruk yang akan timbul sebagai resiko, maupun hal negatif lainnya.

5.     ALWAYS THINK POSITIVE
Selalu berpikir positif, sebagai dampak yang baik untuk orang lain, gunakanlah pemikiran – pemikiran positif dalam mengungkapkan segala sesuatu menggunakan internet dan sosial media. Maka dengan itu, pengungkapan segala bentuk pemikiran yang positif, tidak hanya berdampak dalam kehidupan diri kita sendiri, bahkan orang – orang yang membacanya pun dapat berpikiran yang sama secara positif dalam menghadapi segala sesuatu dalam kehidupan orang tersebut.

6.     SHARE ENCOURAGING WORDS
Berbagi kata – kata yang membesarkan hati, memberikan dorongan dan harapan, serta menganjurkan hal – hal yang membuat seseorang termotivasi atas kata – kata yang diungkapkan dengan tujuan memberi semangat dalam menjalani kehidupan nyata. Sama halnya dengan poin yang telah diungkapkan sebelumnya, berbagi kata – kata motivasi atau yang sering kita dengar dengan istilah ‘quotes’ dapat bermanfaat tak hanya bagi diri kita sendiri, orang lain pun dengan tak sengaja membaca kata – kata motivasi yang telah kita ungkapkan akan tertanam di alam bawah sadarnya sehingga dapat dimungkinkan dapat mempengaruhi keseluruhan harinya.

7.     DELETE THE BAD WORDS
Hapus kata – kata yang buruk atau tidak baik. Berdasarkan hukum atas ketertarikan, kata – kata merupakan kata kunci dalam kehidupan kita, jika disekeliling kita terdapat kata – kata yang kurang baik, dapat dimungkinkan bahwa hari – hari dalam kehidupan kita akan menjadi kurang baik pula. Ini juga merupakan salah satu etika atau etiket dalam menggunakan internet, kata – kata yang buruk dapat menyakiti hati dan perasaan bagi para pembaca dalam internet. Jadi berhati – hatilah dengan ucapan atau kata – kata yang diungkapkan oleh kita.

8.     EMBRACE DIVERSITY
Merangkul perbedaan, dalam melakukan akses ke internet, sangat diharuskan dapat merangkul perbedaan. Maksudnya, seperti yang kita ketahui bahwa masuk dan melakukan akses ke dalam jaringan internet, sudah dipastikan bahwa kita akan bertemu dengan berbagai macam jenis orang yang juga memiliki berbagai sifat, sikap, perilaku, agama, ras, dan masih banyak perbedaan lainnya. Nah perbedaan yang seperti inilah yang harus kita satukan sehingga yang ada hanyalah pengguna internet yang saling berbagi informasi, wawasan, pengetahuan, tentunya yang bermanfaat bagi diri kita sendiri maupun orang lain. Hapuslah segala perbedaan yang ada dan jalinlah pertemanan yang seluas – luasnya.
Beberapa saran, tips, atau dapat dikatakan sebagai aturan dalam beretika atau beretiket dalam melakukan akses ke internet.

http://www.networketiquette.net/social_network.html

TUGAS PENGANTAR TELEMATIKA 
(DENDI CHRISMA_11110778_4KA15) 

Selasa, 11 Juni 2013

IKHTISAR BUKU PENGETAHUAN



Judul Buku      :           Hukum Islam
Pengarang       :           Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H
Penerbit           :           Gaya Media Pratama
Tahun Terbit    :           2001
Tebal Buku      :           342 halaman

Ikhtisar Buku :

Buku ini berisi tentang hukum-hukum yang bersumber dari ajaran agama Islam, baik dari Al-Quran maupun dari hadits atau as-sunah. Selain itu memuat pula mengenai penerapan ajaran islam dikaitkan dengan pelaksanaan praktik Negara Republik Indonesia dalam ranah hukum dengan tujuan untuk menegakkan keadilan dan memberikan kepastian hukum bagi setiap warga negara Indonesia serta mengatur hubungan secara vertikal, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan secara horizontal, yaitu hubungan manusia dengan manusia lain, dengan kelompok, dengan makhluk hidup lain serta dengan lingkungannya.
Dalam buku ini, diantaranya dibahas mengenai Hakikat Din Al-Islam, Sumber dan Dalil Hukum Islam, Prinsip-prinsip dan Tujuan Hukum Islam, Al Ahkam Al Khamsah, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Hukum Islam di Indonesia, Zakat dan Perundang-undangan di Indonesia, Penyelenggaraan Ibadah Haji Menurut Perundang-undangan di Indonesia dan Kerukunan Hidup Beragama Menurut Perundang-undangan Indonesia.
Selain berisi bacaan yang lengkap mengenai hukum islam, buku ini dilengkapi pula dengan lampiran yang terdiri dari peraturan-peraturan agar pembaca lebih mudah memahami dan mengaitkan apa yang tertulis dalam buku tersebut dengan peraturan-peraturan yang telah ada. Lampiran yang dimaksud diantaranya Piagam Jakarta, Dekrit Presiden, Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Inpres No.1 Tahun 1991 dan masih banyak yang lainnya.
Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca. Selain menggunakan bahasa yang mudah untuk dipahami, keunggulan lain yang dimiliki buku ini adalah memuat dengan lengkap dan jelas dari bacaan-bacaan yang termuat didalamnya.

Rabu, 24 Oktober 2012

KATA YANG BERASAL DARI LINGKUNGAN

 Durian : dikarnakan kulitnya berduri.
Rambutan : dikarnakan kulitnya seperti rambut.
Jam Tangan : Jam yang dipakai ditangan.
Undur-Undur : Hewan yang jalan nya mundur.
Tokek : karna mengeluarkan suara "Tokek tokek tokek."
Cicak : karna mengeluarkan suara "cak cak cak."
Atapers : orang yang naik di atap kereta api.
Kaki Seribu : hewan yang kakinya seperti ada seribu.
Bunga Bangkai : karna mengeluarkan bau seperti bangkai.
Ikat Rambut : benda yang digunakan untuk mengikat rambut.
Kumis Kucing : tumbuhan yang bentuknya seperti kumis kucing.
Cocor bebek : tumbuhan yang bentuknya seperti mulut bebek.
Kuping Gajah : tumbuhan yang bentuknya seperti kuping gajah.
Surabaya : Provinsi yang diambil dari cerita ikan hiu Sura yang berkelahi dengan buaya.
Banyu Wangi : Provinsi yang diambil dari cerita tentang air yang wangi.
Pondok Cina : nama daerah yang konon dulu adalah tempat orang cina singgah untuk berdagang.
Kebon Jeruk : nama dearah yang konon dulu adalah tempat kebun jeruk.
Keset : alat yang dibuat untuk mengesatkan kaki.
Zebra Cross : tempat menyebrang jalan yang warnanya serupa warna Zebra.
cicak : karena bunyinya ckckck
dangdut : karena alunan musiknya dang-dut
jangkrik : karena bunyinya krikrik
atapers : karena naik kereta diatap
undur-undur : karena jalannya mundur
apel malang : karena apelnya berasal dari malang
kacang bogor : karena kacangnya berasal dari bogor
walang sangit : karena walang (belalang) itu berbau sangit
kaki seribu : karena serangga itu memiliki kaki yg banyak seperti terlihat 1000 kaki
jalan raya : karena jalanan itu ramai/raya
macan tutul : karena macan itu memiliki tutul-tutul
kumbang badak : karena kumbang itu memiliki 1 cula seperti badak

Selasa, 09 Oktober 2012



1.      Kedudukan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang penting dalam negara kita. Hal ini terlihat dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda yang berbunyi : “Kami poetra poetri bangsa Indonesia mendjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia” , dan dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal khusus yang menyatakan bahwa “bahasa negara ialah bahasa Indonesia”. Selain itu ada beberapa alasan lain yang menguatkan betapa pentingnya bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Penting tidaknya suatu bahasa dapat terlihat dari banyaknya jumlah penutur, luas penyebaran dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya.
            Patokan yang pertama, yaitu jumlah penutur. Jumlah penutur bahasa Indonesia memang tidak sebanyak jumlah penutur bahasa Sunda maupun bahasa Jawa, akan tetapi jika jumlah itu ditambahkan dengan penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa kpertama atau kedua, kedudukannya dalam deretan jumlah penutur berbagai bahasa di Indonesia ada diperingkat pertama. Jumlah penutur bahasa Indonesia semakin lama semakin meningkat, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantara :
a.       Arus pindah ke kota besar, yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang harus dikuasai sebagai alat berhubungan.
b.      Perkawinan antarsuku yang mendorong orang tua untuk berbahasa Indonesia dengan anaknya.
c.       Generasi muda dalam golongan warga negara yang berketurunan asing ada yang lagi tidak merasa perlu menguasai bahasa leluhurnya.
d.      Orang tua masa kini yang cenderung menjadikan anaknya penutur asli bahasa Indonesia.
Patokan yang kedua, yakni luas penyebaran, jelas menempatkan bahasa Indonesia dibarisan depan. Sebagai bahasa setempat, bahasa itu dipakai oleh orang di daerah pantai timur Sumatra, di kepulauan Riau dan Bangka, serta di daerah pantai Kalimantan. Jenis bahasa Melayu-Indonesia, yakni Melayu Indonesia yang bercampur dengan bahasa setempat, didapati di Jakarta dan sekitarnya, Manado, Ambon, Banda, Larantuka dan Kupang. Sebagai bahasa kedua, pemencarannya dapat disaksikan dari ujung barat sampai ke ujung timur dan dari pucuk utara sampai ke batas selatan negeri kita. Sebagai bahasa asing, bahasa Indonesia dipelajari di luar negeri, seperti Amerika Serikat, Australia, Belanda, Ceko, Cina, Filifina, Inggris, India, Italia, Jepang, Jerman, Korea, Prancis, Rusia dan Selandia Baru. Belum lagi bahasa Malaysia dan bahasa Melayu di Singapura dan Brunei Darussalam yang jika ditinjau dari sudut pandangan ilmu bahasa merupakan bahasa yang sama juga dengan bahasa Indonesia.
Patokan yang ketiga, yakni peranannya sebagai ilmu, seni sastra dan pengungkap budaya, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah menjadi satu-satunya wahana dalam penyampaian ilmu pengetahuan serta media untuk pengungkapan seni sastra dan budaya bagi semua warga Indonesia dengan latar belakang budaya serta bahasa daerah yang berbeda-beda.
Dengan demikian, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang sangat penting. Didalam sejarah manusiapemilihan suatu bahasa sebagai lingua franca, yakni bahasa perantara orang yang latar budayanya berbeda, bahasa kebangsaan, atau bahasa internasional tidak pernah dibimbing oleh pertimbangan linguistik, logika atau estetika, tetapi selalu oleh patokan politik, ekonomi, dan demografi.
2.      Pembakuan Bahasa
Dulu ada anggapan bahwa norma bahasa baku didasarkan pada ragam tinggi Melayu-Riau, perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini menunjukkan bahwa pemilihan norma itu tidak monosentris lagi. Sambil merunut sejarah pengaruh kepustakaan Balai pustaka, yang redakturnya banyak yang berbahasa ibu Minangkabau, bahasa pers dan bahasa persuratan kepegawaian seebelum perang, serta bahasa media massa dewasa ini yang didukunv oleh penutur yang bermacam-macam bahasa ibunya, maka dapat dikatakan bahwa dasar penentuan norma bahasa Indonesia sudah majemuk sifatnya.
Secara tentatif, dapat dikatakan bahwa dewasa ini ada 2 perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih. Yang satu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk buku tata bahasa sekolah dan yang diajarkan pada para siswanya. Yang lain ialah norma berdasarkan adat pemakaian (usage) yang belum dikodifikasi secara resmi dan yang antara lain dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan muda. Keduanya bertumpang tindih karena disamping berbagai inti bersama ada norma yang berlaku di sekolah, tetapi yang tidak diikuti oleh media massa dan sebaliknya.



3.      Bahasa Baku
Sejarah umum perkembangan bahasa menunjukkan bahwa ragam bahasa orang yang berpendidikan memperoleh gengsi dan wibawa yang tinggi dalam masyarakat. Selain karena ragam bahasa itu digunakan oleh kalangan yang terpelajar, ragam itu dapat pula menjadi pemuka diberbagai bidang kehidupan yang penting. Ragam itulah yang dijadikan patokan dalam pemakaian bahasa yang benar. Fungsinya adalah untuk menghasilkan nama bahasa baku atau bahasa standar.
Ragam bahasa standar bersifat kemantapan dinamis, yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat.
Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiaannya. Perwujudan dalam kalimat, paragraf dan satuan bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis dan masuk akal. Proses pencedekiaan bahasa itu sangat penting karena pengenalan ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih bersumber pada bahasa asing harus dapat dilangsungkan lewat buku bahasa Indonesia. Akan tetapi karena proses bernalar secara cendekia bersifat semesta dan bukan monopoli suatu bangsa semata-mata, pencendekiaan bahasa Indonesia tidak perlu diartikan sebagai pembaratan bahasa.
Ciri ketiga yang menandai ragam bahasa baku adalah proses pembakuan sampai tarat tertentu yang berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyeragaman ragam bahasa atau penyeragaman variasi bahasa.

4.      Bahasa yang Baik dan Benar
Bahasa yang benar adalah bahasa yang menikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku. Jika orang masih memperdebatkan tentang benar atau tidaknya suatu bentuk bahasa, menandakan bahwa tidak atau belum adanya bentuk baku yang mantap. Jika dipandang dari sudut itu, kita berhadapan dengan bahasa yang semua tatarannya sudah dibakukan, atau yang sebagian sudah dibakukan sedangkan bagian yang lain masih dalam proses pembakuan, ataupun yang semua bagiannya belum atau tidak akan dibakukan. Bahasa Indonesia termasuk golongan yang kedua. Kaidah ejaan dan pembentukan istilah kita seudah distandarkan, kaidah pembentukan kata yang sudah tepat dianggap baku, tetapi pelaksanaan patokan itu dalam kehidupan sehari-hari belum mantap.
Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak perlu beragam baku. Dalam tawar-menawar di pasar misalnya, pemakaian ragam baku akan menimbulkan kegelian, keheranan atau kecurigaan.
Kita mungkin berbahasa yang baik, tetapi tidak benar. Frasa seperti “ini hari” merupakan bahasa yang baik sampai tahun 80-an dikalangan para makelar karcis bioskop, tetapi bentuk itu tidak merupakan bahasa yang benar karena letak kedua kata dalam frasa ini terbalik.
Berbahasa Indonesia yang baik dan benar dapat diartikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya, disamping mengikuti kaidah bahasa yang betul. Ungkapan “bahasa Indonesia yang Baik dan Benar” mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran.

5.      Hubungan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Daerah dan Bahasa Asing
Bahasa Indonesia, bahasa asing dan bahasa daerah memiliki fungsi kemasyarakatan yang khusus, diantaranya :
a.       Fungsi bahasa resmi pada taraf nasional atau daerah, misalnya, dijalankan oleh bahasa Indonesia. Hal ini berarti dalam urusan tata usaha, peradilan dan penyelenggaraan politik, yang dipakai adalah bahasa Indonesia. Sedangkan dalam upacara adat, bahasa resmi yang dipakai adalah bahasa daerah. Sementara dalam peretemuan internasional, bahasa asing diakui pula sebagai bahasa resmi disamping bahasa Indonesia.
b.      Fungsi bahasa perhubungan luas. Dalam fungsi ini, bahasa Indonesia menjadi alat penghubung pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan, pemerintahan, dan pelaksanaan pembangunan. Sedangkan bahasa asing berfungsi sebagai alat penghubung antar bangsa dan untuk perolehan ilmu dan teknologi modern.
c.       Fungsi bahasa dalam pendidikan formal. Hal ini berkaitan dengan tujuan pendidikan. Pertama, bagaimana siswa dapat memperoleh kemahiran dalam mempergunakan bahasa kebangsaannya demi pemerataan kesempatan bekerja yang mensyaratkan kemampuan itu. Kedua, bagaimana orang dapat memahami bahasa etnisnya sehingga ia dapat menghayati dan mewariskan budayanya. Ketiga, bagaimana orang dapat mempelajari jenis bahasa asing yang akan membukakan gerbang baginya ke dunia ilmu dan teknologi modern dan ke berbagai peradaban lain yang layak dikenal.
d.      Fungsi bahasa kesenian, berhubungan dengan pengungkapan cabang seni lewat bahasa seperti bidang prosa, puisi, drama, teater dan film.
e.       Fungsi bahasa keilmuan akan berkembang jika bahasa yang bersangkutan memiliki ragam tulis yang dapat dipakai untuk merekam penelitian dan pengolahan ilmu serta untuk komunikasi ilmiah dalam berbagai jenis. Dewasa ini fungsi itu terutama dilaksanakan oleh bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Ketiga golongan bahasa tersebut (bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa asing) memiliki hubungan yang erat. Hal ini tampak pada bentuk kata dan perluasan kosakata. Hingga kini orang masih terlalu banyak menekankan peran bahasa daerahnya sebagai sumber dan bukan sebagai penerima. Dalam bahasa daerah masa kini dapat juga disaksikan masuknya unsur bahasa Indonesia. Sementara dalam memperkaya kosakata bahasa Indonesia, kita tak dapat terlepas dari pengaruh dunia internasional karena komunikasi antarbangsa memang tidak dapat dicegah. Dalam hal ini, bahasa Indonesia dapat memanfaatkan bahasa-bahsa asing yang dapat memberi sumbangan untuk mengembangkan bahasa nasional.

Sumber : Hasan Alwi dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Pusat Bahasa dan Balai pustaka, Jakarta, 2003, hlm 1-21

BAHASA INDONESIA



1.      Kedudukan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang penting dalam negara kita. Hal ini terlihat dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda yang berbunyi : “Kami poetra poetri bangsa Indonesia mendjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia” , dan dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal khusus yang menyatakan bahwa “bahasa negara ialah bahasa Indonesia”. Selain itu ada beberapa alasan lain yang menguatkan betapa pentingnya bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Penting tidaknya suatu bahasa dapat terlihat dari banyaknya jumlah penutur, luas penyebaran dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya.
            Patokan yang pertama, yaitu jumlah penutur. Jumlah penutur bahasa Indonesia memang tidak sebanyak jumlah penutur bahasa Sunda maupun bahasa Jawa, akan tetapi jika jumlah itu ditambahkan dengan penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa kpertama atau kedua, kedudukannya dalam deretan jumlah penutur berbagai bahasa di Indonesia ada diperingkat pertama. Jumlah penutur bahasa Indonesia semakin lama semakin meningkat, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantara :
a.       Arus pindah ke kota besar, yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang harus dikuasai sebagai alat berhubungan.
b.      Perkawinan antarsuku yang mendorong orang tua untuk berbahasa Indonesia dengan anaknya.
c.       Generasi muda dalam golongan warga negara yang berketurunan asing ada yang lagi tidak merasa perlu menguasai bahasa leluhurnya.
d.      Orang tua masa kini yang cenderung menjadikan anaknya penutur asli bahasa Indonesia.
Patokan yang kedua, yakni luas penyebaran, jelas menempatkan bahasa Indonesia dibarisan depan. Sebagai bahasa setempat, bahasa itu dipakai oleh orang di daerah pantai timur Sumatra, di kepulauan Riau dan Bangka, serta di daerah pantai Kalimantan. Jenis bahasa Melayu-Indonesia, yakni Melayu Indonesia yang bercampur dengan bahasa setempat, didapati di Jakarta dan sekitarnya, Manado, Ambon, Banda, Larantuka dan Kupang. Sebagai bahasa kedua, pemencarannya dapat disaksikan dari ujung barat sampai ke ujung timur dan dari pucuk utara sampai ke batas selatan negeri kita. Sebagai bahasa asing, bahasa Indonesia dipelajari di luar negeri, seperti Amerika Serikat, Australia, Belanda, Ceko, Cina, Filifina, Inggris, India, Italia, Jepang, Jerman, Korea, Prancis, Rusia dan Selandia Baru. Belum lagi bahasa Malaysia dan bahasa Melayu di Singapura dan Brunei Darussalam yang jika ditinjau dari sudut pandangan ilmu bahasa merupakan bahasa yang sama juga dengan bahasa Indonesia.
Patokan yang ketiga, yakni peranannya sebagai ilmu, seni sastra dan pengungkap budaya, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah menjadi satu-satunya wahana dalam penyampaian ilmu pengetahuan serta media untuk pengungkapan seni sastra dan budaya bagi semua warga Indonesia dengan latar belakang budaya serta bahasa daerah yang berbeda-beda.
Dengan demikian, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang sangat penting. Didalam sejarah manusiapemilihan suatu bahasa sebagai lingua franca, yakni bahasa perantara orang yang latar budayanya berbeda, bahasa kebangsaan, atau bahasa internasional tidak pernah dibimbing oleh pertimbangan linguistik, logika atau estetika, tetapi selalu oleh patokan politik, ekonomi, dan demografi.
2.      Pembakuan Bahasa
Dulu ada anggapan bahwa norma bahasa baku didasarkan pada ragam tinggi Melayu-Riau, perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini menunjukkan bahwa pemilihan norma itu tidak monosentris lagi. Sambil merunut sejarah pengaruh kepustakaan Balai pustaka, yang redakturnya banyak yang berbahasa ibu Minangkabau, bahasa pers dan bahasa persuratan kepegawaian seebelum perang, serta bahasa media massa dewasa ini yang didukunv oleh penutur yang bermacam-macam bahasa ibunya, maka dapat dikatakan bahwa dasar penentuan norma bahasa Indonesia sudah majemuk sifatnya.
Secara tentatif, dapat dikatakan bahwa dewasa ini ada 2 perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih. Yang satu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk buku tata bahasa sekolah dan yang diajarkan pada para siswanya. Yang lain ialah norma berdasarkan adat pemakaian (usage) yang belum dikodifikasi secara resmi dan yang antara lain dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan muda. Keduanya bertumpang tindih karena disamping berbagai inti bersama ada norma yang berlaku di sekolah, tetapi yang tidak diikuti oleh media massa dan sebaliknya.



3.      Bahasa Baku
Sejarah umum perkembangan bahasa menunjukkan bahwa ragam bahasa orang yang berpendidikan memperoleh gengsi dan wibawa yang tinggi dalam masyarakat. Selain karena ragam bahasa itu digunakan oleh kalangan yang terpelajar, ragam itu dapat pula menjadi pemuka diberbagai bidang kehidupan yang penting. Ragam itulah yang dijadikan patokan dalam pemakaian bahasa yang benar. Fungsinya adalah untuk menghasilkan nama bahasa baku atau bahasa standar.
Ragam bahasa standar bersifat kemantapan dinamis, yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat.
Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiaannya. Perwujudan dalam kalimat, paragraf dan satuan bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis dan masuk akal. Proses pencedekiaan bahasa itu sangat penting karena pengenalan ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih bersumber pada bahasa asing harus dapat dilangsungkan lewat buku bahasa Indonesia. Akan tetapi karena proses bernalar secara cendekia bersifat semesta dan bukan monopoli suatu bangsa semata-mata, pencendekiaan bahasa Indonesia tidak perlu diartikan sebagai pembaratan bahasa.
Ciri ketiga yang menandai ragam bahasa baku adalah proses pembakuan sampai tarat tertentu yang berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyeragaman ragam bahasa atau penyeragaman variasi bahasa.

4.      Bahasa yang Baik dan Benar
Bahasa yang benar adalah bahasa yang menikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku. Jika orang masih memperdebatkan tentang benar atau tidaknya suatu bentuk bahasa, menandakan bahwa tidak atau belum adanya bentuk baku yang mantap. Jika dipandang dari sudut itu, kita berhadapan dengan bahasa yang semua tatarannya sudah dibakukan, atau yang sebagian sudah dibakukan sedangkan bagian yang lain masih dalam proses pembakuan, ataupun yang semua bagiannya belum atau tidak akan dibakukan. Bahasa Indonesia termasuk golongan yang kedua. Kaidah ejaan dan pembentukan istilah kita seudah distandarkan, kaidah pembentukan kata yang sudah tepat dianggap baku, tetapi pelaksanaan patokan itu dalam kehidupan sehari-hari belum mantap.
Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak perlu beragam baku. Dalam tawar-menawar di pasar misalnya, pemakaian ragam baku akan menimbulkan kegelian, keheranan atau kecurigaan.
Kita mungkin berbahasa yang baik, tetapi tidak benar. Frasa seperti “ini hari” merupakan bahasa yang baik sampai tahun 80-an dikalangan para makelar karcis bioskop, tetapi bentuk itu tidak merupakan bahasa yang benar karena letak kedua kata dalam frasa ini terbalik.
Berbahasa Indonesia yang baik dan benar dapat diartikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya, disamping mengikuti kaidah bahasa yang betul. Ungkapan “bahasa Indonesia yang Baik dan Benar” mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran.

5.      Hubungan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Daerah dan Bahasa Asing
Bahasa Indonesia, bahasa asing dan bahasa daerah memiliki fungsi kemasyarakatan yang khusus, diantaranya :
a.       Fungsi bahasa resmi pada taraf nasional atau daerah, misalnya, dijalankan oleh bahasa Indonesia. Hal ini berarti dalam urusan tata usaha, peradilan dan penyelenggaraan politik, yang dipakai adalah bahasa Indonesia. Sedangkan dalam upacara adat, bahasa resmi yang dipakai adalah bahasa daerah. Sementara dalam peretemuan internasional, bahasa asing diakui pula sebagai bahasa resmi disamping bahasa Indonesia.
b.      Fungsi bahasa perhubungan luas. Dalam fungsi ini, bahasa Indonesia menjadi alat penghubung pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan, pemerintahan, dan pelaksanaan pembangunan. Sedangkan bahasa asing berfungsi sebagai alat penghubung antar bangsa dan untuk perolehan ilmu dan teknologi modern.
c.       Fungsi bahasa dalam pendidikan formal. Hal ini berkaitan dengan tujuan pendidikan. Pertama, bagaimana siswa dapat memperoleh kemahiran dalam mempergunakan bahasa kebangsaannya demi pemerataan kesempatan bekerja yang mensyaratkan kemampuan itu. Kedua, bagaimana orang dapat memahami bahasa etnisnya sehingga ia dapat menghayati dan mewariskan budayanya. Ketiga, bagaimana orang dapat mempelajari jenis bahasa asing yang akan membukakan gerbang baginya ke dunia ilmu dan teknologi modern dan ke berbagai peradaban lain yang layak dikenal.
d.      Fungsi bahasa kesenian, berhubungan dengan pengungkapan cabang seni lewat bahasa seperti bidang prosa, puisi, drama, teater dan film.
e.       Fungsi bahasa keilmuan akan berkembang jika bahasa yang bersangkutan memiliki ragam tulis yang dapat dipakai untuk merekam penelitian dan pengolahan ilmu serta untuk komunikasi ilmiah dalam berbagai jenis. Dewasa ini fungsi itu terutama dilaksanakan oleh bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Ketiga golongan bahasa tersebut (bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa asing) memiliki hubungan yang erat. Hal ini tampak pada bentuk kata dan perluasan kosakata. Hingga kini orang masih terlalu banyak menekankan peran bahasa daerahnya sebagai sumber dan bukan sebagai penerima. Dalam bahasa daerah masa kini dapat juga disaksikan masuknya unsur bahasa Indonesia. Sementara dalam memperkaya kosakata bahasa Indonesia, kita tak dapat terlepas dari pengaruh dunia internasional karena komunikasi antarbangsa memang tidak dapat dicegah. Dalam hal ini, bahasa Indonesia dapat memanfaatkan bahasa-bahsa asing yang dapat memberi sumbangan untuk mengembangkan bahasa nasional.

Sumber : Hasan Alwi dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Pusat Bahasa dan Balai pustaka, Jakarta, 2003, hlm 1-21